TIMES TUBAN, JAKARTA – Jepang membangun 'kepulauan rudal' di Pulau Yonaguni dekat Taiwan dalam upayanya menghadapi perilaku China yang semakin meningkat akhir-akhir ini di sekitar kepulauan Jepang dan Taiwan.
Dilansir The Japan Times, China terus menerus memaksa Perdana Menteri Sanae Takaichi untuk menarik kembali pernyataannnya yang akan mengerahkan kapal-kapal perangnya jika China suatu hari nanti juga mencoba merebut Taiwan.
Pulau Yonaguni yang jarang penduduknya itu berada tepat di garis depan. Letak hanya 110 kilometer (68 mil) di sebelah timur Taiwan. Yonaguni berada paling ujung dari kepulauan yang membentang ke utara hingga pulau-pulau utama Jepang, jarak yang kira-kira setara dengan panjang garis pantai California.
Sejak kunjungan mantan Ketua DPR AS, Nancy Pelosi ke Taipei tahun 2022 membuat China menembakkan rudalnya dan mendarat di dekat Yonaguni. Karena itu Jepang kemudian mempercepat rencana pembangunan militer terbesarnya dalam setidaknya empat dekade terakhir.
Di sepanjang rantai pulau Ryukyu yang berjumlah 160, Jepang dengan cepat membangun baterai rudal, menara radar, tempat penyimpanan amunisi, dan fasilitas tempur lainnya.
Jepang juga mulai mengerahkan aset militer utama di Kyushu, pulau paling selatan dari empat pulau utama Jepang, termasuk jet tempur F-35 dan rudal jarak jauh, serta memperluas versi Korps Marinir AS-nya, yang dikenal sebagai Brigade Pengerahan Cepat Amfibi.
Persaingan untuk memperkuat kepulauan tersebut meningkatkan taruhan dalam perselisihan saat ini antara ekonomi terbesar di Asia, karena China meningkatkan tekanan untuk memaksa Perdana Menteri Sanae Takaichi menarik kembali pernyataan yang mengisyaratkan bahwa Jepang mungkin akan mengerahkan militernya jika China suatu hari nanti mencoba merebut Taiwan.
Akhir pekan lalu sebuah pesawat tempur China mengunci radar penargetan senjatanya pada pesawat tempur Jepang, menunjukkan risiko salah perhitungan jika ketegangan terus berlanjut.
“Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok tidak diragukan lagi sedang membangun kemampuannya untuk memaksa Taiwan tunduk," kata mantan letnan jenderal di Pasukan Bela Diri Darat Jepang, Koichi Isobe.
"Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Barat lainnya harus menunjukkan kepada China tekad kuat mereka untuk menentang tindakan apa pun yang berupaya mengubah status quo," tambahnya.
Pulau subtropis Yonaguni, yang terkenal karena memiliki kuda liar yang terancam punah dan lokasi menyelam dengan hiu martilnya, kini menyaksikan pembangunan gedung apartemen baru untuk menampung pasukan bagi pangkalan militer yang didirikan pada tahun 2016.
Tahun-tahun mendatang sekitar 30 staf akan bergabung dengan hampir 230 staf yang sudah berada di lokasi untuk mengakomodasi divisi peperangan elektronik, dan lebih banyak lagi yang diperkirakan akan menyusul dengan rencana penempatan rudal anti-pesawat.
Sebagian dari sekitar 1.500 penduduk di pulau itu juga semakin cemas dengan masuknya persenjataan, dan telah meminta kejelasan lebih lanjut dari pejabat Jepang tentang rencana masa depan.
Suatu malam yang hangat awal Desember ini, sekitar 80 warga setempat berkumpul di balai komunitas untuk "pertemuan penjelasan," di mana pejabat Kementerian Pertahanan memberi tahu mereka mengapa perlu mengerahkan pasukan, rudal anti-pesawat, dan senjata yang menggunakan gelombang elektromagnetik untuk mengganggu komunikasi dan kemampuan penargetan musuh.
Beberapa warga menyuarakan kekhawatiran tentang bahaya peningkatan kehadiran militer, dengan salah satu di antaranya mengatakan bahwa Takaichi seharusnya tetap diam. Namun, yang lain seperti Shigeru Yonahara, seorang mekanik mobil berusia 63 tahun dan anggota dewan kota setuju dengan posisi Kementerian Pertahanan.
Beberapa hari sebelum pertemuan tersebut, militer Jepang melaporkan bahwa mereka melihat sebuah drone yang diduga milik China di dekat pulau itu. "Saat ini kita tidak berdaya," katanya dalam sebuah wawancara. "Kita membutuhkan unit peperangan elektronik untuk melumpuhkan ancaman seperti drone," katanya kemudiajm
Sejak pernyataan Sanae Takaichi memicu reaksi keras dari China, ia berulang kali menegaskan bahwa Jepang tidak mengubah kebijakannya terhadap Taiwan atau membuat komitmen baru tentang kapan mereka akan mengerahkan militernya. Namun, pernyataannya telah menyoroti betapa eratnya hubungan antara keamanan Jepang dan Taiwan.
Meskipun Jepang mempertahankan doktrin pertahanan diri yang ketat, pada tahun 2015 pemerintah Perdana Menteri Shinzo Abe saat itu mengawasi perubahan hukum penting yang memungkinkan militer untuk membantu negara-negara sahabat dalam situasi di mana kelangsungan hidup Jepang sendiri juga bisa terancam.
Sebelum Takaichi mulai berkuasa bulan Oktober lalu, Abe dan para pemimpin berikutnya telah menghindari memberikan skenario spesifik di mana "pertahanan diri kolektif" akan diterapkan, karena menyadari bahwa melakukan hal itu dapat memicu ketegangan dengan China.
Namun secara pribadi, para pejabat pemerintah dan analis keamanan telah lama menyebutkan bahwa salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah pertahanan Taiwan yang dipimpin Amerika, mengingat kedekatan Jepang dengan negara demokrasi pulau tersebut dan ketergantungannya sendiri pada AS untuk keamanan.
Oleh karena itu, bila pasukan Amerika gagal menghentikan invasi China ke Taiwan, sudah pasti akan membahayakan keamanan Jepang sendiri. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jepang Membangun Kepulauan Rudal, Bersiap Hadapi China
| Pewarta | : Widodo Irianto |
| Editor | : Ronny Wicaksono |